Perguruan Tinggi Tak Siap, Pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Terkendala

Rumah-Sakit-Pendidikan-Itu-Unik
Banyak perguruan tinggi dinilai belum siap menyelenggarakan pendidikan kedokteran karena belum memiliki rumah sakit pendidikan sendiri. Padahal, penyelenggaraan pendidikan kedokteran tidak akan maksimal tanpa ada rumah sakit pendidikan.
Demikian disampaikan Wakil Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Satryo Sumantri Brodjonegoro, Selasa (10/1), di Jakarta. Hal itu terkait terhentinya pembangunan sejumlah rumah sakit pendidikan di bawah Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
“Mengapa pembangunan rumah sakit pendidikan mangkrak?Ya, karena keterbatasan anggaran. Itu menunjukkan banyak perguruan tinggi belum siap menyelenggarakan pendidikan kedokteran,” ucap Satryo.
Selama ini, fakultas kedokteran perguruan tinggi negeri yang belum punya RS pendidikan sendiri memakai RS di bawah Kementerian Kesehatan atau pemerintah daerah sebagai RS pendidikan. Misalnya, FK Universitas Andalas memakai RS Umum Pusat UP M Djamil Padang.
Pemakaian RS untuk pelayanan sebagai RS pendidikan, menurut Satryo, tak maksimal bagi penyelenggaraan pendidikan kedokteran. “Saat ada banyak pasien RS pelayanan, maka layanan diutamakan daripada pendidikan atau riset,” ujarnya. Akibatnya, penyelenggaraan pendidikan kedokteran tidak maksimal.
Sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, tiap FK wajib memiliki RS pendidikan. Aturan itu menyiratkan pesan agar tak sembarangan membuka program studi kedokteran. Pertumbuhan FK perlu dibatasi agar dokter yang dihasilkan bermutu.
Sebelumnya, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir mengatakan, pembangunan sejumlah RS pendidikan terhenti. Dari 24 RS pendidikan di bawah Kemristek dan Dikti yang dibangun, baru 8 RS beroperasi di antaranya, RS pendidikan milik Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, Universitas Sumatera Utara, dan Universitas Hasanuddin.
Dana terbatas
Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek Kemristek dan Dikti Ali Ghufron Mukti menyampaikan, kini, ada 16 RS pendidikan di bawah Kemristek dan Dikti yang pembangunannya terhambat. Salah satunya adalah RS pendidikan Universitas Samratulangi.
Menurut Ghufron, pembangunan RS pendidikan terhambat karena keterbatasan anggaran. “Perlu anggaran setidaknya Rp 200 miliar untuk membangun rumah sakit. Ini tak gampang,” ucapnya.
Terkait hal itu, Kemristek dan Dikti menjajaki penerapan skema pembiayaan alternatif untuk membiayai pembangunan RS pendidikan. Salah satunya, dengan membuat Perjanjian Kerja Sama Badan Usaha (PKBU).
Dalam PKBU, pembangunan RS akan ditawarkan kepada badan usaha sebagai investor. Investasi itu akan dikembalikan secara dicicil dari anggaran Kemristek dan Dikti.
Selain penganggaran, ketersediaan tenaga dokter pengajar dan tata kelola RS pendidikan juga menjadi hambatan selama ini.
Kemampuan beragam
Ketua Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan Indonesia Anwar Santoso memaparkan, di FK swasta, pembangunan RS pendidikan amat bergantung pada kemampuan dana yayasan yang menaunginya.
Saat ini ada 27 FK swasta yang berafiliasi dengan RS pendidikan yang telah ditetapkan pemerintah. Beberapa FK di antaranya telah memiliki RS pendidikan sendiri. Contohnya, FK Universitas Pelita Harapan yang memiliki RS Siloam.
Meski FK swasta telah bekerja sama dengan RS pendidikan yang telah ditunjuk Kemenkes, FK swasta tetap harus memiliki RS pendidikan sendiri. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran. (ADH)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Januari 2017, di halaman 12 dengan judul “Perguruan Tinggi Tak Siap”.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.